Diambil
dari buku: 100 Touching Stories – Xavier Quentin Pranata
“Pemazmur katakan Firman Tuhan itu pelita bagi kaki kita dan
terang bagi jalan kita. Yang jadi masalah, kita seringkali tidak memiliki
pelita, apalagi menyalakannya.” Xavier Quentin Pranata
Pada
suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat
membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu tertawa dan berkata,
“Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.”
Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar
mereka tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita
tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.
Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang
buta dong!” Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!” Si buta tertegun. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.”
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!” Si buta tertegun. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.”
Si
buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar
saya.” Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa
si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.
Dalam
perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta itu. Kali
ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah
pelita saya padam?” Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal
yang sama.” Senyap sejenak, secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda
orang buta?” Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.” Mereka berdua meledak
dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka
yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
Pada
waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia
menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu,
tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak
orang ini, “Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat
jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”
Pelita
melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan
kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi
kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan.
Si
buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan,
kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar
bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam
perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa
yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan
dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak
pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang
peduli. Kadang, mereka memilih untuk “membuta” walaupun mereka bisa melihat.
Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang
sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa
menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah
selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu. Orang buta kedua mewakili
mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan
pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit
menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita
menjadi makin melek, semakin bijaksana. Orang terakhir yang lewat mewakili
mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.
Sudahkah
kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya
masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri
dan sekitar kita. Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan, ”Sejuta pelita
dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan
meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.”
Untuk Direnungkan: Agar kita bisa menuntun orang lain, kita perlu dituntun
oleh Tuhan lebih dulu. Sudahkah Anda belajar terus dari-Nya setiap hari? Saat
teduh yang teratur akan membuat wadah kita dipenuhi terus oleh hikmat Tuhan.
Mengapa tidak melakukannya sekarang?
Untuk Dilakukan: “Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka:
“Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam
lobang?” (Lukas 6:39).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
isi komentar